Presiden Trump Perintahkan Serangan ke Iran Tanpa Restu Kongres: Tindakan Sah atau Inkonstitusional?
SUARAMERDEKASOLO.COM – Washington, 21 Juni 2025 – Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat telah meluncurkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Dalam pidato dari Gedung Putih, Trump menyebut operasi ini sebagai keberhasilan besar. Ia menyatakan bahwa program pengayaan nuklir Iran telah dilumpuhkan secara total.
Menurut Trump, serangan ini bertujuan untuk mencegah ancaman nuklir dari Iran. Ia juga menegaskan bahwa Iran merupakan sponsor utama terorisme global.
Namun, tindakan tersebut langsung memicu kritik. Sejumlah anggota Kongres menyatakan bahwa Trump telah melanggar konstitusi karena tidak meminta izin terlebih dahulu.
Kritik Tajam dari Kongres AS
Senator Bernie Sanders dan anggota DPR Ro Khanna termasuk yang paling vokal. Mereka menyebut serangan tersebut sebagai langkah yang sangat tidak konstitusional.
“Kita harus segera kembali ke Washington dan mengesahkan resolusi War Powers,” ujar Ro Khanna, dikutip dari The Guardian, 22 Juni 2025.
Thomas Massie, anggota DPR dari Partai Republik, menyampaikan pandangan serupa. Ia mengatakan bahwa Presiden Donald Trump seharusnya meminta otorisasi resmi sebelum menyerang negara lain.
Siapa yang Berwenang Menyatakan Perang?
Dalam sistem hukum Amerika, hanya Kongres yang berhak menyatakan perang. Hal ini tertuang dalam Article I, Section 8, Clause 11 Konstitusi AS.
Presiden, sebagai panglima militer, boleh mengerahkan pasukan dalam kondisi darurat. Namun, batasannya telah diatur lewat Undang-Undang War Powers Resolution (WPR) 1973.
Aturan utama WPR mencakup:
-
Presiden wajib melapor ke Kongres dalam 48 jam setelah mengerahkan militer.
-
Operasi harus dihentikan dalam 60 hari jika tidak mendapat izin resmi.
-
Serangan hanya sah bila ada deklarasi perang, otorisasi Kongres, atau serangan langsung ke AS.
Dalam kasus Iran, tidak ada satu pun syarat tersebut yang terpenuhi. Maka, banyak ahli hukum menyatakan bahwa Trump melanggar WPR.
Bukan Kasus Pertama dalam Sejarah
Trump bukan satu-satunya presiden yang melancarkan serangan tanpa izin Kongres. Hampir semua presiden sejak 1973 pernah melakukannya.
Contohnya, Ronald Reagan menyerang Grenada pada 1983. Barack Obama mengintervensi Libya pada 2011 tanpa meminta persetujuan legislatif.
Obama bahkan menyatakan bahwa intervensi di Libya bukan “permusuhan” dalam konteks hukum WPR. Ia juga menggunakan AUMF 2001 dan 2002 untuk menyerang kelompok ISIS di Suriah dan Irak.
Joe Biden pun mengambil langkah serupa. Ia memerintahkan beberapa serangan terhadap milisi dukungan Iran. Pemerintahannya selalu mengirim laporan ke Kongres dalam waktu 48 jam. Namun, mereka tidak pernah meminta otorisasi baru.
Serangan Iran 2025: Kasus Unik
Berbeda dengan sebelumnya, Trump menyerang fasilitas vital milik negara berdaulat. Aksi ini tidak hanya melibatkan kelompok milisi. Sasaran serangan adalah infrastruktur utama Iran.
Karena itu, banyak pihak menyebut serangan ini sebagai titik balik. Ancaman eskalasi menjadi nyata, dan tekanan hukum terhadap Trump semakin kuat.
“Ini bukan pelanggaran kecil. Ini bisa memicu konflik regional,” ujar seorang analis politik dari Brookings Institution.
Apakah Mahkamah Agung Akan Bertindak?
Dengan meningkatnya ketegangan, muncul pertanyaan penting: apakah Mahkamah Agung akan meninjau legalitas aksi Trump?
Beberapa legislator bipartisan, seperti Ro Khanna dan Thomas Massie, telah mengajukan resolusi. Tujuannya adalah membatasi keterlibatan militer AS di Iran tanpa izin legislatif.
Namun, sejarah membuktikan bahwa membatasi kekuasaan presiden dalam urusan militer bukanlah hal mudah.
Batas Kekuasaan Eksekutif Kembali Dipertanyakan
Serangan ke Iran memperlihatkan kembali konflik lama dalam sistem politik AS. Ada tarik-menarik antara kekuasaan Presiden dalam kebijakan luar negeri dan wewenang Kongres dalam menyatakan perang.
Apakah tindakan ini akan memicu perubahan besar dalam sistem hukum? Ataukah ini akan menjadi satu dari banyak preseden pelanggaran WPR?
Satu hal pasti, langkah Trump di bulan Juni 2025 telah membuka kembali perdebatan soal batas kekuasaan Presiden Amerika Serikat.