Indonesia Resmikan Pabrik Baterai EV Terbesar di Asia Tenggara, Langkah Strategis Menuju Pemain Global

KARAWANG, suaramerdekasolo.com – Indonesia kembali mengukuhkan posisinya dalam peta industri otomotif dunia. Hari ini, pemerintah secara resmi mengoperasikan pabrik baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) PT Nusantara Green Energy di kawasan industri Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12).

Pabrik yang menelan nilai investasi sebesar Rp15 triliun ini diklaim sebagai fasilitas produksi sel baterai terintegrasi terbesar di Asia Tenggara.

Dalam sambutannya, Presiden menekankan bahwa peresmian ini bukan sekadar seremonial pembukaan pabrik, melainkan simbol transformasi ekonomi Indonesia dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen barang bernilai tambah tinggi.

“Kita tidak ingin lagi menjual nikel mentah. Kita ingin mengolahnya di sini, menciptakan lapangan kerja di sini, dan memberikan nilai tambah bagi ekonomi rakyat. Ini adalah bukti nyata hilirisasi industri,” ujar Presiden saat menekan tombol sirine peresmian.

Kapasitas Produksi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Direktur Utama PT Nusantara Green Energy, Budi Santoso, menjelaskan bahwa pada tahap pertama, pabrik ini memiliki kapasitas produksi sebesar 10 Gigawatt hour (GWh) per tahun. Angka ini cukup untuk menyuplai baterai bagi lebih dari 150.000 unit mobil listrik.

“Kami menargetkan peningkatan kapasitas hingga 30 GWh pada tahun 2027. Saat ini, operasional pabrik telah menyerap 2.000 tenaga kerja lokal, dan di proyeksikan akan mencapai 5.000 orang saat ekspansi tahap kedua selesai,” jelas Budi.

Selain memenuhi kebutuhan domestik yang kian meningkat seiring tren mobil listrik, produk baterai dari Karawang ini juga di siapkan untuk pasar ekspor, dengan tujuan utama pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Dampak Lingkungan dan Ekonomi

Pengamat Ekonomi Energi, Dr. Ratna Wijaya, menilai langkah ini sangat strategis. Menurutnya, keberadaan pabrik ini akan menurunkan harga jual kendaraan listrik di slot bet 200 Indonesia secara signifikan karena komponen baterai mencakup 30-40% dari total biaya produksi mobil.

“Jika harga mobil listrik turun, adopsi masyarakat akan lebih cepat. Ini efek domino yang positif bagi target Net Zero Emission pemerintah di tahun 2060, sekaligus menghemat devisa impor BBM,” ungkap Ratna saat di hubungi terpisah.

Pemerintah berharap kawasan industri ini akan menarik lebih banyak investor asing untuk menanamkan modal di sektor pendukung ekosistem kendaraan listrik, mulai dari komponen suku cadang hingga stasiun pengisian daya.