Tambang Nikel Ancam Keindahan Raja Ampat, Tekanan Publik Semakin Meluas
SuaraMerdekaSolo.com – Raja Ampat, kawasan dengan kekayaan hayati laut yang mendunia, kini berada di persimpangan antara kelestarian dan eksploitasi. Aktivitas pertambangan nikel yang mulai menyentuh pulau-pulau kecil di wilayah ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak.
Sejauh ini, beberapa pulau seperti Gag, Kawe, dan Manuran telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Bahkan, sejumlah perusahaan sudah memulai eksplorasi. Akibatnya, suara penolakan dari berbagai kalangan terus menguat.
DPR Soroti Pelanggaran Regulasi
Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, menyoroti langsung aktivitas tambang tersebut. Menurutnya, tambang nikel di Raja Ampat melanggar regulasi yang berlaku. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang secara jelas memprioritaskan wilayah pesisir dan pulau kecil untuk konservasi, pariwisata bahari, budidaya laut, serta riset.
Karena itu, Novita mendesak agar aktivitas tambang segera dihentikan dan izin yang ada ditinjau ulang.
Pemerintah Diminta Lebih Tegas
Selain DPR, Kementerian Pariwisata juga menunjukkan keprihatinan. Menteri Widiyanti Putri Wardana menegaskan bahwa setiap bentuk pembangunan di wilayah Raja Ampat harus mematuhi prinsip kehati-hatian.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberlanjutan lingkungan tidak boleh dikorbankan demi ambisi industrialisasi. “Pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam hanya akan menciptakan bencana di masa depan,” ujar Widiyanti.
Masyarakat dan Aktivis Bergerak Bersama
Sementara itu, penolakan juga datang langsung dari warga lokal dan komunitas lingkungan. Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA)—gabungan masyarakat adat, pelaku wisata, dan aktivis lingkungan—menyampaikan keberatannya secara terbuka. Mereka menyatakan bahwa tambang nikel akan merusak pesisir dan mengancam sumber penghidupan nelayan.
Di tingkat nasional, gelombang protes terus meluas. Empat pemuda Raja Ampat bersama Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai saat konferensi Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” sebagai bentuk penolakan keras terhadap aktivitas tambang.
Pemerintah Akan Evaluasi Izin Tambang
Menanggapi polemik ini, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia akhirnya angkat suara. Ia memastikan bahwa pemerintah akan memanggil para pemegang IUP di Raja Ampat untuk melakukan evaluasi.
Menurutnya, kegiatan tambang harus memenuhi aturan hukum dan tidak boleh merusak lingkungan. “Kami akan telusuri semua dokumen dan aktivitas lapangan. Jika terbukti melanggar, maka sanksi akan diberlakukan,” tegasnya.
Komitmen untuk Warisan Dunia
Raja Ampat bukan sekadar aset nasional. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark karena menyimpan keanekaragaman hayati laut yang luar biasa.
Oleh karena itu, banyak pihak mengingatkan agar Indonesia tidak tergelincir dalam eksploitasi jangka pendek. Sebaliknya, pemerintah harus memastikan bahwa warisan ekologi seperti Raja Ampat tetap lestari untuk generasi mendatang.
Secara keseluruhan, kasus ini mencerminkan konflik antara ambisi hilirisasi industri dan tanggung jawab pelestarian alam. Kini, keputusan ada di tangan pemerintah: menyelamatkan surga laut dunia atau menyerah pada tekanan industri. ***