suaramerdekasolo.com – JAKARTA, KOMPAS — Menurut organisasi masyarakat sipil, interaksi antara sekelompok prajurit TNI dan Polres Medan Kota di Sumatera Utara merupakan tindakan pelecehan terhadap Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Insiden berulang tersebut menunjukkan masalah struktural dan budaya yang tersisa setelah reformasi sektor keamanan.
Hal itu disampaikan organisasi masyarakat sipil dalam konferensi pers daring yang digelar pada Minggu, 8 Juni 2023, menanggapi insiden yang melibatkan rombongan anggota TNI yang mendatangi Polres Medan pada Sabtu, 7 Mei 2023. menurut Kompas. com, tim personel TNI menanyakan keberadaan ARH, tersangka pemalsuan sertifikat tanah atas nama pengusaha asal Sumut, saat berkunjung ke Polres Medan.
Menurut Feri Kusuma, Ketua Forum de Facto, kejadian seperti ini sudah terjadi sebelumnya, berkali-kali, dan kemungkinan akan terus berlanjut. Kejadian seperti itu menunjukkan ancaman militer terhadap demokrasi, supremasi hukum, dan penegakan hukum.
Selain melanggar banyak UU, hal ini juga melanggar UU TNI. Dari perspektif kode etik, hukum pidana, perlindungan HAM, dan perspektif antar lembaga, semua itu merupakan pelanggaran dan merupakan ancaman, menurut Ferry.
Feri berpendapat, selain ditertibkan atas pelanggaran tersebut, anggota TNI juga harus dipecat. Sebab, TNI dibentuk untuk menciptakan prajurit-prajurit terlatih yang akan menjunjung tinggi UUD 1945, hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Kejadian di Medan, menurut Direktur Imparsial Gufron Mabruri, menunjukkan kurangnya respek dan penerimaan terhadap sistem penegakan hukum oleh anggota TNI. Sikap ini menganggap bahwa mereka adalah warga negara yang diistimewakan dan merupakan bentuk arogansi.
“Penggerebekan, intimidasi, dan tindakan lain yang terkait dengan main hakim sendiri terhadap institusi negara diterima sebagai hal yang normal dan dibenarkan. Gufron menyatakan, “Ini bukan hanya praktik yang buruk, tetapi juga.
Kombes Polda Sumut. Hadi Wahyudi melaporkan kedatangan penasehat hukum I/Bukit Barisan Kodam dan sejumlah anggotanya ke Polrestabes Medan untuk berkoordinasi terkait status penahanan ARH, adik Mayor Dedi Hasibuan. Hadi mengklaim, tujuan kedatangan Mayor Dedi dan sejumlah rekannya adalah untuk memastikan ruang lingkup tindakan hukum yang akan dilakukan terhadap ARH dalam kasus dugaan pemalsuan sertifikat tanah yang menjerat ARH.
“Semua itu dalam wilayah koordinasi untuk urusan hukum. Menurut Kompas.com (6/8/2023), dia menyatakan, “Secara teori, polisi profesional dalam penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku.
Mayor Dedi Hasibuan, yang juga saudara laki-laki ARH, bertindak sebagai penasihat hukum sang jenderal, menurut Kolonel (Inf) Riko Siagian, Kepala Penerangan Kodam Bukit Barisan. Kapendam juga menyayangkan keputusan Mayor Dedi Hasibuan yang menjenguk Kasat Reskrim bersama personel TNI.
“Polda Sumut dan Kodam I Bukit Barisan kuat dan berdedikasi memberikan kewenangan tunggal kepada polisi atas segala urusan hukum. Riko (Kompas.com 6/8/2023) menyatakan Polres Medan juga terlibat dalam kasus ini.
Dimas Bagus Arya Saputra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai intimidasi yang dilakukan anggota TNI di Polres Medan merupakan bentuk intervensi penegakan hukum ketimbang koordinasi. Perbuatan menghalangi sistem hukum (obstruction of justice) termasuk perbuatan-perbuatan yang sifatnya demikian.
Dimas berpendapat, tindakan seperti itu tidak mungkin bisa dibenarkan. Selain mengganggu penegakan hukum, kejadian ini menunjukkan angkuh TNI yang masih berkembang di kalangan anggotanya. Hal ini menunjukkan bahwa TNI masih membutuhkan pembenahan struktural dan kultural. Peristiwa ini juga memperkuat argumentasi perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Anggota TNI menggerebek kantor polisi empat kali pada tahun 2023, melibatkan puluhan hingga ratusan petugas, menurut penelitian Annisa Azzahra dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Perilaku mengintimidasi tersebut tentu akan berdampak pada bagaimana polisi menegakkan hukum, sehingga semakin sulit untuk membangun proses penegakan hukum yang imparsial, imparsial, dan tidak mengintervensi.
“Kalau merasa ada yang tidak beres, seharusnya melaporkan proses yang tidak beres, bukan mengeroyok dan mengintimidasi mereka,” ujar Annisa.
Setelah kejadian itu, Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), menjelaskan bahwa ada persoalan reformasi militer yang merupakan salah satu komponen reformasi di bidang keamanan. Alat pendukung akuntabilitas dalam menjalankan proses ternyata tidak cukup ketika Reformasi 1998 berupaya memulihkan supremasi hukum dan menempatkan militer bekerja sesuai dengan hukum.
Salah satu indikasinya adalah UU No. Peraturan Peradilan Militer 31/1997 tidak diubah. Padahal, undang-undang merupakan perangkat krusial untuk menjamin akuntabilitas semua tindakan dan penyelesaian tugas TNI. Hukum, di sisi lain, sebenarnya menumbuhkan lingkungan impunitas.
Situasi saat ini hampir identik; kekuatan militer digunakan untuk mengintimidasi sistem hukum saat ini. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa kejadian tersebut tidak akan terulang kembali. Akibatnya, komitmen negara terhadap supremasi hukum pasti akan menderita, menurut Wahyudi.
Dia menyatakan, UU Peradilan Militer perlu direvisi untuk mencegah kejadian serupa. Di sisi lain, kontrol masyarakat sipil perlu ditingkatkan, termasuk memotivasi anggota DPR untuk menyikapi kejadian tersebut dengan tegas dan tegas.
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menyatakan keprihatinannya bahwa kejadian seperti itu akan mendorong “normalisasi intimidasi” penegakan hukum di berbagai bidang. Pola permukiman seperti ini sebelumnya sudah beberapa kali terjadi, terakhir di Kabupaten Kupang dan Jeneponto pada April tahun lalu. Dalam setiap kasus, pernyataan bersama dikeluarkan oleh perwakilan institusi TNI dan Polri.
Dalam konteks hubungan sipil-militer yang sehat dalam negara demokrasi, ketaatan pada prinsip persamaan di depan hukum dalam kerangka negara hukum, dan pengulangan kasus serupa yang tidak pernah terselesaikan, sinergi dan soliditas artifisial inilah yang menyebabkan ini. Salah satu faktor yang bertahan lama dalam normalisasi intervensi penegakan hukum, menurut Hendardi, adalah supremasi TNI dan keistimewaan peradilan militer.
Hendardi berharap Komando Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan mengusut hal tersebut, memastikan kejadian serupa tidak terulang lagi, dan menerapkan sanksi yang setimpal bagi prajurit yang melanggar tata tertib. Instansi kepolisian diharapkan untuk melihat masalah yang menyebabkan normalisasi intimidasi polisi untuk sementara.
Menurut Hendardi, “Presiden dan DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang harus terus melakukan pekerjaan rumah untuk membangun hubungan sipil-militer yang sehat.”
suaramerdekasolo.com - Liga Voli Korea musim 2024-2025 menghadirkan kejutan besar pada putaran keempat. Tim papan…
suaramerdekasolo.com - Warga Desa Telukan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, dikejutkan dengan penemuan bayi perempuan di…
Juan Automotores Official: Solusi Tepat untuk Pembelian Mobil Baru dengan Pelayanan Profesional Mencari mobil baru…
Honda Mobil Sukabumi: Temukan Berbagai Model Terbaru dengan Layanan Profesional Bagi Anda yang berada di…
suaramerdekasolo.com - Manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daop 6 Yogyakarta melaporkan pencapaian operasional tanpa…
suaramerdekasolo.com - Kebakaran terjadi di sebuah SPBU di Cuplik pada Rabu (8/1), ketika sebuah mobil…