Tambang Nikel Ancam Keindahan Raja Ampat, Warga Sampai Pemuka Agama Angkat Suara

SUARAMERDEKASOLO.COM — Keindahan alam Raja Ampat yang bikin dunia terpukau kini terancam rusak. Bukan karena bencana alam, tapi karena ulah manusia sendiri. Tambang nikel mulai masuk dan bikin banyak pihak resah—dari wisatawan, pelaku usaha, sampai pemuka agama ikut bersuara.

Mereka sepakat dalam satu seruan: Hentikan eksploitasi yang merusak Raja Ampat!

Tambang dan Wisata: Dua Dunia yang Tak Bisa Disatukan

Raja Ampat selama ini terkenal sebagai surganya ekowisata. Kawasan ini menyimpan kekayaan bawah laut luar biasa dan sudah menyandang status Geopark Dunia dari UNESCO. Sayangnya, perusahaan tambang justru datang membawa risiko besar terhadap lingkungan.

Ketua Umum Astindo, Pauline Suharno, menegaskan bahwa tambang dan pariwisata tidak bisa berdampingan.
“Pariwisata butuh alam yang sehat. Sementara tambang, jelas-jelas merusak. Dunia sudah bergerak ke arah wisata berkelanjutan, kita jangan malah mundur,” katanya, Senin (9/6/2025).

Pauline juga menyayangkan lemahnya penegakan hukum. Ia mengkritik kondisi di mana pemerintah baru bertindak setelah isu viral di media sosial.

Antara Duit dan Alam, Pilih yang Mana?

Soal pemasukan, Raja Ampat punya kontribusi besar buat daerah. Sepanjang 2024, sekitar 30 ribu wisatawan datang ke sana. Sebanyak 70% di antaranya adalah turis asing. Mereka menyumbang sekitar Rp 150 miliar per tahun buat pendapatan asli daerah (PAD).

Angka itu belum termasuk dampak positif bagi warga lokal. Banyak penduduk membuka usaha penginapan, kuliner, hingga penyewaan perahu. Artinya, sektor wisata memberi napas langsung ke ekonomi warga.

Makanya, ketika pemerintah memberi izin tambang, masyarakat merasa kecewa. Mereka khawatir pendapatan dari pariwisata akan hilang jika lingkungan rusak.

Suara Penolakan Terus Menggema

Ketua Umum Asita, Rusmiati, menyuarakan penolakan melalui surat terbuka untuk Presiden Prabowo. Ia meminta Presiden menghentikan semua aktivitas tambang di Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran.
“Tambang nikel merusak prinsip pariwisata berkelanjutan. Ini membuat wisatawan kecewa, padahal selama ini mereka patuh aturan konservasi dan bayar retribusi,” tegasnya.

Sementara itu, Uskup Timika Bernardus Bofitwos Baru menyampaikan keprihatinannya dalam khotbah di Gereja Katedral Tiga Raja. Ia menilai para penguasa hanya memikirkan keuntungan sesaat dengan merusak ribuan hektare lahan.
“Kita harus memilih: ikut arus dunia yang serakah, atau berdiri bersama kebenaran yang menjaga alam dan sesama manusia?” ujarnya.

Aktivis Muda Tampil Bersuara

Empat pemuda asal Raja Ampat bersama Greenpeace menggelar aksi damai saat konferensi mineral di Jakarta. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.

Lewat aksi ini, mereka ingin semua pihak berpikir ulang: Apa harga sebenarnya dari nikel yang kita pakai?

Pemerintah Mulai Bergerak

Setelah gelombang penolakan makin besar, Kementerian Pariwisata dan Komisi VII DPR berdialog langsung dengan masyarakat adat. Mereka sepakat bahwa Raja Ampat harus tetap menjadi kawasan wisata dan konservasi, bukan tambang.

Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, juga menyampaikan langsung ke Kemenpar agar pemerintah pusat memperhatikan aspirasi warga.
“Kami di daerah memang tak punya banyak kuasa, tapi kami ingin Raja Ampat tetap jadi warisan dunia yang dijaga bersama,” katanya.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa titik tambang berada cukup jauh dari spot wisata utama seperti Piaynemo. Meski begitu, banyak pihak mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan tidak berhenti di batas peta.

Hukum Sudah Jelas, Tinggal Tindakan

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Azril Azhari, menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi sudah menolak gugatan atas larangan tambang di pulau kecil. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sudah jelas melarang pertambangan di pulau dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi.

Azril menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menghentikan tambang yang merusak pulau-pulau kecil. Ia juga mendorong pemerintah lebih menghargai nilai-nilai ekologi dan budaya masyarakat lokal.
“Kalau tujuannya menaikkan ekonomi, ya angkat ekonomi warga setempat, bukan kasih keuntungan ke investor besar. Ekosistem juga punya nilai ekonomi yang jarang dihitung,” ucapnya.

Menjaga Bumi, Menjaga Masa Depan

Tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya soal lingkungan, tapi soal arah masa depan Indonesia. Kita tidak bisa terus mengorbankan alam demi proyek jangka pendek.

Kini saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan: pada rakyat, pada alam, dan pada warisan dunia yang kita miliki. Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah simbol komitmen kita pada keberlanjutan.