Hasil Otopsi Juliana Marins: Luka Benda Tumpul Jadi Penyebab Utama Kematian
SUARAMERDEKASOLO.COM – Pihak RSUD Bali Mandara secara resmi merilis hasil otopsi terhadap jenazah Juliana Marins (26), wisatawan asal Brasil yang mengalami kecelakaan tragis saat mendaki Gunung Rinjani. Juliana diketahui terjatuh ke dalam jurang sedalam 600 meter pada Sabtu (21/6/2025), dan jenazahnya baru berhasil dievakuasi pada Rabu (25/6/2025), tiga hari setelah dinyatakan meninggal dunia.
Menurut keterangan dr. Ida Bagus Putu Alit selaku dokter forensik RSUD Bali Mandara, proses otopsi dilakukan segera setelah jenazah tiba di rumah sakit pada Kamis malam (26/6/2025). Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, berikut adalah temuan penting dari otopsi tersebut:
Kondisi Fisik Jenazah Masih Terjaga
Jenazah ditemukan dalam keadaan utuh, meskipun terdapat tanda-tanda kekakuan dan lebam pada tubuh. Berdasarkan kondisi tersebut, diperkirakan korban meninggal dunia dalam rentang waktu 12 hingga 24 jam sebelum dilakukan otopsi.
Luka Lecet dan Patah Tulang di Sejumlah Bagian Tubuh
Pemeriksaan menunjukkan adanya luka lecet geser di hampir seluruh tubuh korban, termasuk pada bagian kepala, punggung, serta ekstremitas. Hal ini menandakan bahwa tubuh korban mengalami gesekan keras dengan permukaan batu atau benda tumpul saat terjatuh. Selain itu, ditemukan pula sejumlah patah tulang pada area dada, pinggul, dan paha.
Penyebab Kematian: Luka Akibat Kekerasan Benda Tumpul
Berdasarkan analisa medis, penyebab utama kematian Juliana adalah cedera serius akibat benturan dengan benda tumpul. Luka tersebut menyebabkan kerusakan organ vital bagian dalam serta mengakibatkan pendarahan hebat, terutama di area dada dan perut.
Hipotermia Ditepiskan sebagai Penyebab
Dokter Alit menegaskan bahwa kematian korban bukan disebabkan oleh hipotermia. Tidak ditemukannya penyusutan limpa atau tanda-tanda lain yang biasa terlihat pada korban hipotermia memperkuat kesimpulan ini. Meski demikian, karena jenazah sudah dalam kondisi lama, tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan cairan bola mata untuk memastikan lebih lanjut.
Juliana Masih Sempat Bertahan Hidup Selama 20 Menit
Temuan forensik menunjukkan bahwa Juliana sempat bertahan hidup dalam waktu singkat setelah jatuh, meskipun dalam kondisi kritis. “Diperkirakan korban masih hidup sekitar 20 menit setelah mengalami cedera, namun pendarahan internal yang masif mempercepat kematian,” jelas dr. Alit.
Proses Otopsi Masih Menunggu Hasil Toksikologi
Meski penyebab kematian telah dipastikan sebagai luka akibat kekerasan benda tumpul, proses otopsi belum selesai sepenuhnya. Pihak medis masih menunggu hasil pemeriksaan toksikologi untuk melengkapi analisis forensik secara menyeluruh.
Evakuasi Terkendala Medan Ekstrem dan Cuaca
Salah satu faktor yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah lambatnya proses evakuasi. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Yarman Wasur, menjelaskan bahwa kondisi geografis ekstrem dan cuaca yang cepat berubah di kawasan Rinjani menjadi tantangan utama dalam misi evakuasi.
“Topografi yang curam serta cuaca yang tidak menentu sangat menyulitkan tim penyelamat,” ungkap Yarman.
Penggunaan Helikopter Tidak Memungkinkan
Menurut Emi Freezer dari Basarnas, evakuasi melalui udara tidak bisa dilakukan karena lokasi korban jatuh berada di jurang curam yang sempit. “Tidak tersedia ruang cukup untuk manuver helikopter, baik untuk mendarat maupun melakukan operasi gantung di udara,” jelasnya. Selain itu, potensi turbulensi dan angin vertikal sangat membahayakan bagi penerbangan helikopter di area tersebut.
Kondisi ini diperparah oleh debu vulkanik dan serpihan batu yang bisa teraduk oleh baling-baling helikopter, berisiko mencelakai petugas penyelamat di lokasi.
Apresiasi untuk Tim Relawan Meski Evakuasi Dikecam Lambat
Keluarga korban sempat melayangkan kritik atas lamanya proses evakuasi. Namun, mereka juga menyampaikan apresiasi atas dedikasi relawan dan petugas lapangan yang telah berjuang keras dalam medan yang sangat berbahaya.
Kasus meninggalnya Juliana Marins menjadi pengingat bahwa pendakian di jalur ekstrem seperti Gunung Rinjani memerlukan persiapan matang dan kewaspadaan tinggi. Di sisi lain, proses penanganan darurat di wilayah dengan kondisi geografis ekstrem juga menantang dan membutuhkan koordinasi lintas instansi yang solid.