Bendung Paham Radikalisme di Kalangan Anak Muda
SOLO, suaramerdekasolo.com– Lima eks narapidana teroris (napiter) menguak kisah sejarahnya yang terlibat berbagai aksi teroris.
Sebut saja Joko Suroso yang akrab disapa Joko Padang, Amir JAD Malang, Tri alias Mbe, anggota Jamaah Islamiyah (JI), dan sejumlah tokoh lainnya.
Mereka secara gamblang menjelaskan aksi-aksinya saat terlibat berbagai kasus, hingga ditangkap hingga kini menikmati kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan dan upaya penyerangan Mabes Polri yang dilakukan seorang perempuan beberapa waktu lalu jadi pengamatan para eks napiter.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah dua peristiwa itu melibatkan generasi milenial. Sebut saja ZA (25) pelaku penyerangan Mabes Polri dan L pelaku bom berusia 26 tahun.
Eks teroris yang pernah menyembunyikan Noordin M Top yakni Joko Suroso atau yang akrab disapa Joko Padang mengungkap fakta baru bahwa aksi tersebut dilakukan spontan dan sporadis. “Tidak seperti aksi masa lalu yang terarah dengan sasaran tertentu,” urainya.
Dalam acara Ngabuburit dan Silaturahmi antara PWI Surakarta, Polda Jateng, dan Yayasan Gema Salam di Adhiwangsa Hotel Solo, Senin (3/4/2021), Joko menjelaskan agar anak-anak muda tidak terpapar paham terorisme diperlukan peran orang tua yang cukup besar sebagai pencegahan. Menurutnya, idealisme kaum milenial cukup tinggi sehingga kalau sudah terpapar radikalisme akan sulit dicegah atau dibelokkan ke komunitas yang diinginkan keluarganya.
“Apalagi jika dikaitkan dengan sentimen agama, maka sangat muda sekali untuk dimasuki,” ungkap Joko dalam diskusi dengan tema Membendung Radikalisme di Kalangan Anak Muda tersebut.
Dia memaparkan, orang tua wajib memperhatikan berbagai aktivitas anak mulai pergaulan, sekolah, hingga tempat ibadah. Mengingat, lanjut dia, semua anak bisa menjadi sasaran.
“Semua anak bisa jadi sasaran. Tidak harus itu orang Muhammadiyah maupun NU. Siapa saja bisa direkrut,” tegasnya.
“Jika ada semangat dan momentum yang tepat, misalnya isu ketidakadilan dan penindasan, maka semakin mudah untuk masuk,” tambah sosok yang pernah masuk jaringan teroris Noordin M Top dan Dr Azhari tersebut.
Lalu bagaimana cata membendungnya? Joko tak memungkiri butuh waktu lama dan tidak bisa secara instan. Orang tua harus bisa mengarahkan anak untuk memilih komunitas pergaulan.
“Seperti anaknya menghadiri diskusi kok mengarahnya semakin keras dan orang tua tidak didengarkan, nah itu ada indikasi. Ini harus diperhatikan,” paparnya.
Pada sisi lain, Direktur Amir Machmud Center (AMC), Dr Amir Machmud juga tak menampik jika radikalisme sudah masuk semua kalangan, mulai ASN, pelajar, mahasiswa, anak hingga polisi.
“Paham radikalisme ini masuk ke beberapa level kalangan. Jangan sampai kita biarkan, karena radikalisme tidak akan hilang mengingat ini adalah ideologi,” terang Amir yang pernah disebut-sebut sebagai Ketua Forum Pendukung Daulah Islamiyah tersebut.
Sementara itu, Dirintelkam Polda Jateng, Kombes Pol Djati Wiyoto Abadhy mewakili Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi mengapresiasi kegiatan silaturahmi tersebut.
Menurutnya, diperlukan sinergitas antarpihak dan stakeholder untuk membendung radikalisme dan terorisme di Tanah Air.
“Tugas polri tidak hanya penegaskan hukum saja, namun juga membangun sinergitas untuk membendung terorisme. Butuh dukungan semua pihak. Mudah-mudahan dengan kegiatan ini setidaknya kita bisa berbuat ke negara untuk memerangi radikalisme dan terorisme,” tandas orang pertama di kesatuan Intelkam Polda Jateng itu.
Sebelumnya empat eks napiter lain sempat mengurai aksi terorisme yang mereka jalani.
Contohnya eks napiter Hamdi yang merupakan anak buah Badri yang tinggal di sebelah barat Solo Square.
Hamdi selain ditangkap dirumahnya, juga ditemukan bom di tempat tinggalnya. Dia mengaku menjadi korban yang awalnya hanya sebagai penjual bunga. Namun dia terpapar paham Jamaah Islamiyah (JI) dibawah pimpinan Badri.
Pandangan lain disampaikan Hasan. Awalnya dia masuk Front Pembela Islam (FPI) 2007. Lalu berkembang masuk kedalam sel-sel jihadis sehingga tidak takut penjara atau mati.
Hasan mengaku terlibat aksi bom bunuh diri di Polresta Surakarta dan dihukum selama tiga tahun penjara. Dia masuk sebagai simpatisan ISIS. “Nah untuk menangkal paham terorisme, peran keluarga cukup penting dan sangat kuat,” urainya.
Eks napiter lainnya yakni
Sumarno warga Klaten terpapar paham teroris awalnya tidak tahu agama. Awalnya belajar ikro’ hingga tertarik masuk HKTI kemudian masuk JAD. Dalam kasus teroris, dia divonis penjara selama 3,5 tahun.
Terakhir, eks Amir JAD Malang, Kristiyanto alias Abe. Dia yang dikenal dengan nama Mas Abe terpapar JAD awalnya ingin belajar agama baik melalui banyak aliran seperti Shalawi, tabligh, NU dan Muhammadiyah.
Ketertarikan tentang negara khilafah mulai tertanam setelah jadi Amir JAD.
Dia ditangkap karena terlibat aksi pengeboman di Polrestabes Malang, pengeboman gereja dan lainnya. (Sri Hartanto)