Lirik Lagu Lord Kempot Banyak Gunakan ”Purwakanthi” dan ”Wangsalan”

suaramerdekasolo.com – MEMBEDAH sukses Didi Kempot (alm) sebagai musisi dangdut Jawa hingga dinobatkan menjadi ”rajanya”, rata-rata memang menunjuk pada apa yang dihasilkan secara ekonomi, sosial dan juga reputasi di kancah industri musik nasional maupun internasional.

Dan ketiganya lebih gampang dilihat dan diukur dari seberapa sering yang bersangkutan tampil sebagai tokoh sentral dalam konser yang dilakukan, seberapa sering tampil di media secara nasional atau mungkin internasional, terutama media TV.

Terlebih, tampil di TV yang bisa menghasilkan uang banyak bukan hanya dalam bentuk konser tunggal, bintang tamu suatu acara, talk show ataupun menjadi salah satu juri atau komentator pada sebuah ajang kompetisi terutama musik, misalnya yang selama ini digelar di Indosiar.

Penghasilan di Luar Nyanyi

Tetapi, Raja Dangdut Jawa yang terlahir di tahun 1966 lalu nama Didi Prasetyo itu, ternyata masih memiliki reputasi di bidang akting yang juga menghasilkan banyak uang.

Karena, setelah menjadi bintang iklan teh di Solo, menjelang ajal anak keempat pelawak terkenal mbah Ranto Edy Gudel (alm) itu muncul sukses sebagai bintang iklan obat herbal masuk angin dan aplikasi belanja daring.

Sukses secara ekonomi dari hasil menjual kemampuan (akting dan menyanyi) dan karya-karyanya di bidang musik dangdut Jawa yang diraih Didi Kempot, memang tidak berdiri sendiri.

Ketika ditengok ke belakang, ternyata banyak faktor yang telah membantu mengantarkannya pada pencapaian tertinggi sebagai Raja Dangdut Jawa, sekaligus tokoh pelestari budaya Jawa itu.

Tuntaskan Varian ”Koplo”

Lingkungan sebagai daya dukung, terutama keluarga dan habitatnya (termasuk tim kerja/produksi), menjadi variabel utama pencapaian sukses itu. Sedangkan variabel pendukung yang tak kalah peran pentingnya dalam sukses yang diraih, adalah kekosongan figur tokoh di industri musik yang ”diisinya” hingga mampu menuntaskan trend genre dangdut ”koplo”.

Trend musik dangdut di Tanah Air, sekalipun diperpanjang dengan berbagai jenis ajang kompetisi dan pencarian bakat seperti yang digelar Indosiar selama 5 tahun terakhir, ternyata belum bisa tuntas menjadi dangdut bentuk baru meski diramaikan oleh varian ”koplo” dan sentuhan ”subetnik”.

Tampilnya Didi Kempot yang mampu menuntaskan dan mengombinasikan varian-varian termasuk ”koplo” dan subetnik dalam varian dangdut Jawa, seakan menjadi pengisi kekosongan figur tokoh dan varian musik yang dibawakan.

Tetap Berestetika Tinggi

Kehadirannya, sekaligus menjadi jembatan di saat-saat trend menurunnya genre dangdut, karena industri musik dangdut dan Rhoma Irama sebagai tokoh sentralnya juga sedang mengalami penurunan popularitasnya sebagai simbol ikon musik dangdut.

Munculnya Didi Kempot menawarkan karya-karyanya yang berbasis dari lingkungan sastra/bahasa Jawa, namun tetap berestetika dan bercitarasa tinggi walau iringan beraransmen dangdut.

Sebagian besar dari 700 single yang dihasilkan, bila dicermati sangat akomodatif terhadap sentuhan garap ”koplo”, tetapi lirik-lirik lagunya lebih mampu menyentuh jutaan hati penikmatnya, di dalam dan luar negeri.

”Style” karya-karya The God Father of Broken Heart inilah yang akhirnya mampu menuntaskan varian-varian musik dangdut subetnik ”full koplo”lebih dulu diperkenalkan sejumlah tokoh musisi di berbagai daerah, tetapi belum sampai pada puncaknya sampai Didi Kempot datang membawa dangdut Jawa mencapai ”finish”.

Tersedia Kekayaan Diksi

Di antara sejumlah daya dukung untuk pencapaian itu, ternyata ada faktor ketersediaan diksi yang sangat kaya dalam bahasa dan sastra Jawa yang dikuasai seorang Didi Kempot. Kekayaan diksi itu, bisa untuk mengungkapkan pengalaman dan perasaan apa saja yang dihadapi dalam kehidupan sosial dan batinnya.

Diksi yang bisa berasal dari karya-karya para pujangga itu, digunakan Lord Didi Kempot untuk menyusun dan merangkai kata-kata yang dalam bait-bait lirik atau syair lagu-lagu yang diciptakan.

Oleh sebab itu, karena kutipan-kutipan kata dan kalimat itu berasal dari karya yang disusun menggunakan kaidah baku tata bahasa Jawa, jelas menghasilkan pesan yang berestetika.

Baik ketika dilafalkan seperti baca puisi, maupun ketika diperdengarkan bersama musik iringan yang irama notasinya dekat sekali dengan gending-gending dan instrumen iringan musik gamelan Jawa.

”Kalau pada zaman dulu ada pujangga seperti Ranggawarsita, Yasadipura dan sebagainya. Di zaman sekarang, karya-karya ‘Ndane’ itu mirip karya pujangga,” puji ”Mbolo” Wawan Liswanto, salah seorang sahabat dekat yang ditinggal saat berpulang 5 Mei (05-05-2020) itu.

Adopsi Kosa Kata Jawa

Pernyataan MC panggung dan hajadan yang tinggal di kawasan Manahan, Banjarsari itu, seakan dikuatkan oleh pernyataan KRA Budayaningrat, seorang ”dwija” (guru) pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Surakarta.

Sanggar itu dikelola Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta pimpinan Gusti Moeng (GKR Wandansari Koes Moertiyah). Di sanggar itu, pengetahuan tentang bahasa Jawa secara utuh diajarkan kepada kalangan siswanya, termasuk para musisi/pekerja seni, MC, pejabat di tingkat desa hingga pejabat tinggi.

Menurut pengajar ”kawruh basa” (pengetahuan bahasa), ” gladhen hamicara” (latihan berbicara/pidato), tata busana dan ”beksan” (pengetahuan tari) siswa sanggar itu, karya-karya Didi Kempot diyakini banyak mengadopsi diksi/kosa kata yang terdapat dalam kategori ”purwakanthi” san ”wangsalan”.

Dua kategori sebagai istilah yang dijadikan panduan mencipta puisi atau ”geguritan” dalam bahasa Jawa itu, sangat banyak ditemukan dalam karya-karya sastra para pujangga Keraton Mataram Surakarta. Maka tidak aneh kalau puisi atau sastra Jawa karya para Pujangga Jawa, terdengar sangat indah dan berkarakter sangat kuat.

Semu Tidak ”Lekoh”

Meskipun kata-kata yang digunakan dan dirangkai sebagai kalimat, banyak yang terselubung atau ”semu” sebagai dalam arti sebagai lawan vulgar/jorok yang dalam khasanah Jawa disebut ”mlaha” atau”lekoh”.

Lihat saja, banyak sekali lagu-lagu Didi Kempot yang menggunakan kategori ‘purwakanthi’ dan ‘wangsalan’. Maka lagu-lagunya terdengar indah di telinga, menyentuh rasa di hati. Padahal, ada yang menyentil, tapi halus.

Entah dalam lagu berjudul apa, saya pernah dengar penggalan liriknya bernunyi ‘ati karep bandha cupet’. Dalam tata bahasa Jawa atau ”parama sastra” , itu termasuk ‘purwakanthi guru swara. Kemudian ada penggalan yang berbunyi ‘lara atiku, atiku kelara-lara’, itu masuk kategori ‘purwakanthi lumaksita/lampah.

Kemudian, kalau enggak salah penggalan kalimat yang ada pada lagu “Sekonyong Koder’. Itu termasuk ‘wangsalan lamba’, atau kata-kata yang mengandung tebakan tetapi sederhana.

”Teknik penyusunan menggunakan pengetahuan tata bahasa Jawa ini, liriknya menjadi tertata indah saat diucapkan/dilafalkan, dan indah saat didengarkan sebagai lagu/nyanyian”, jelas KRA Budayaningrat yang dihubungi suaramerdekasolo.com, tadi pagi. (Won Poerwono-bersambung)